Senin, 26 September 2016

Lembang Part I: Farm House

Perjalanan pertama kami dalam rangka "ngebolang" ala anak2 cewek sekantor dimulai dari perjalanan kereta api Gambir ke Stasiun Bandung. Tiba sekitar jam12 siang langsung bermaksud cari penginapan sekitar situ, hanya saja beberapa hotel yang kami datangi sudah full semua.Maklum karena PON sedang berlangsung di Bandung.

Akhirnya kami langsung menuju Lembang dengan memesan Gojek, tapi dari 3x pesan goride ternyata dicancel sama rider dengan alasan tidak boleh dari stasiun karena banyak ojek pangkalan. Tapi setelah semua dicancel hanya satu yang tidak bisa cancel, rider terlanjur confirm ontheway.Terpaksa saya turun dari angkot lembang menggunakan layanan gojek tersebut di dekat hotel Vio-pasir kaliki.

Saya tiba duluan, makan bakso pinggir jalan sambil menunggu mereka. Cek in hotel pas depan Farm house, lumayan murah dan bersih untuk budget backpacker seperti kami.
Masuk farm house hanya berjalan kaki, bayar tiket 20ribu/orang langsung tukar minum susu coklat atau rasa stoberi. Yummy..

Lokasinya tidak begitu luas menurut saya, tapi cukup bagus buat foto-foto dan duduk-duduk santai sambil ngopi.

Sayang sekali pengunjungnya ramai sekali waktu itu, beberapa spot foto seperti rumah hobbit dll harus antre sama yang lainnya.Selain itu hujan datang dan pergi, berulang lagi terus menerus bikin males mau antre foto.

Tempat yang paling enak menurut saya ada posisi diatas rumah hobbit itu, tempat terbuka dengan banyak bangku dan meja. Ada stand-stand makanan juga sehingga enak buat ngopi sore-sore atau malam jika cuaca cerah.

Selebihnya ada curug mini, kandang sapi, kandang burung, taman-taman, penjual aneka makanan, pernak pernik, bangunan gaya eropa dll. Kami tidak begitu lama disana karena hujan yang turun membuat mood ngedrop dan pengennya tiduran di kasur.

Lembang Part II: Floating Market

Hari berikutnya kami berkemas untuk cekout hotel di pagi hari sekitar jam8. Setelah sarapan bubur ayam dan ketupat tahu di persimpangan Lembang, kami menuju Floating market dengan menaiki angkot.

Berjalan kaki kira-kira 100meter, bayar tiket 20rb/orang sampailah di gerbang masuk. Lalu menukarkan potongan tiket dengan lemon tea atau kopi hangat.

Kami berkeliling sambil foto-foto ke arah kiri gerbang mengitari danau. Ada joglo has sunda dan saung-saung gratis tempat istirahat atau "botram" ala orang-orang sunda. Ada cafe-cafean, ada juga semacam penginapan di dalam area floating market.

Sesuai namanya, semakin kami ke dalam semakin banyak penjual makanan berjejer di pinggir danau atau juga ada yang berjualan diatas perahu namun mereka semua merapat dipinggir danau. Mungkin karena para pengunjungnya kebanyakan jarang yang menyewa perahu.

Yang disayangkan menurut saya, pengunjung hanya bisa membeli makanan-makanan tersebut dengan menggunakan koin yang harus dibeli dulu dikonter khusus. Koin pecahan 10rb atau 25rb tersebut tidak bisa diuangkan kembali jika masih tersisa.

Kami yang tadinya tertarik makan disana jadi mengurungkan niat karena sistem koin yang sedikit ribet tsb. Padahal harga makanannya cukup terjangkau, tidak mahal-mahal amat.

Terus terang saya lebih suka di tempat ini ketimbang Farm House. Disini tempatnya lebih luas dan banyak areal santai keluarga. Anak-anakpun bisa asyik bermain dengan memberi makan kelinci, ikan mas, mancing magnet, outbond atau mencoba naik kereta api mini.

Walaupun pengunjung banyak, area ini cukup luas sehingga tidak perlu antre jika hendak berfoto di suatu titik.

Minggu, 18 September 2016

Hati-hati backpacker naik angkot daerah Lembang Bandung

Hari ini kami bertiga teman 1kantor bermaksud jalan-jalan ala backpacker ke Taman Begonia-Lembang mencegat angkot warna kuning dari simpang pasar Lembang yang melaju ke arah Maribaya. Sebelumnya kami tanya apakah menuju arah Maribaya, supir bilang iya.

Namun setelah kami naik ternyata angkot kuning tsb tdk sampai tempat yang kami tuju karena itu bukan trayeknya. Si supir malah menyarankan kami ke Tangkuban Perahu yang notabene menurut sepengetahuan kami tdk ada angkutan umum masuk kesana dan jalan kakinya jauh. Namun si supir menerangkan jika sekarang pegelolanya bukan lagi perhutani melainkan swasta dan sdh ada angkutan umum kesana.

Akhirnya kami setuju untuk berwisata ke tangkuban perahu, namun ditengah perjalanan barulah si supir mengatakan jika dari pintu tiket biasanya nyarter mobil. Karena hari masih terhitung pagi sekitar jam9:30 dan tidak ada angkot lain kami lihat lalu lalang sekitar sana, kami yang perempuan semua merasa khawatir dan tanggung untuk kembali turun membuang waktu tanpa berwisata, akhirnya kami tanya berapa untuk naik sampai area tangkuban perahu. Si supir hanya mengatakan biasanya 40rb sekali jalan, yang berarti 80rb plg pergi. Kami tawar 70rb, supir setuju.

Kami hanya sekitar 30menit di area kawah , minta turun kembali ke pasar lembang dan tiba pukul 11 siang. Disana, kami baru kaget karena si supir menagih tarif 210rb untuk perjalanan selama 2jam dikurangi 30menit di tangkuban perahu. Jelas-jelas kami merasa tertipu setelah sebelumnya dia mengatakan ada trayek angkot menuju tepat didepan kawah sampai dia tidak menerangkan dengan gamblang bahwa tarif 70rb/org bukan per mobil.

Kalaupun kami bandingkan naik angkot eceran, pasar Lembang ke pintu tiket berjarak +/- 10km paling hanya 10rb x3 =30rb wajarlah sampe kawah 12km 80rb pp. Karena setelah turun bukan hanya kami di angkot tsb, diperjalanan si sopir naikin banyak penumpang lagi.

Semoga tidak ada lagi wisatawan yang jadi korban penipuan si sopir laknat. Saya sendiri sebagai orang Sunda asli Sukabumi jadi malu sama teman2 yang notabene orang suku lain. Dan merasa ditipu sama sesama suku Sunda itu serasa gak punya sodara orang Sunda lagi (saking sakit hatinya-red). Kenapa masih saja ada sopir semacam itu yang kelihatannya seperti membantu tapi ternyata ada niatan mengambil keuntungan dari para traveller yang kebingungan. Sungguh memalukan orang-orang semacam itu dan membuat kapok wisatawan yang akan kesana.

Tempat wisata yang kurang bagus, pelayanan seadanya atau makanan yang disajikan asal-asalan, seringkali tidak sebanding dengan uang yang dikeluarkan wisatawan. Bahkan jauh dari nilai wajar tempat-tempat wisata pada umumnya. Intinya seringkali wisatawan yang baru pertama kali datang dan kebingungan, justru digetok dengan harga-harga yang mahal seolah-olah mereka semua datang untuk membuang-buang uang saja.

Bahkan ada saya dengar di floating market seorang ibu yg menawar jasa perahu dayung dan membuat si Teteh bersungut2 karena kesal harga 2ribu perak masih ditawar jadi seribu. Dia mengatakan "Jika gak punya uang, ya gak usah jalan-jalan", dia mengatakan itu pakai bahasa sunda yg saya pahami betul. Emang benar kterlaluan memang si Ibu, namun si Teteh seperti menyepelekan banget akan adanya wisatawan. Emangnya kalau tidak ada wisatawan yang kesana, dia masih bisa ngais rezeki disana? Heran..